Selasa, 26 April 2016

Menjadi Manusia

Aku adalah hewan yang berjiwa manusia. Aku bisa berubah ke berbagai bentuk hewan. Hewan liar, jinak maupun buas. Aku bisa menjadi hewan apa saja tetapi jiwa ini tetap manusia. Bergerak dengan insting yang terkadang kerakusan hewaniah tidak bisa dikendalikan. Jiwa ini berakal tapi tidak dapat dikendalikan oleh insting hewani. Membunuh, mencabik, menggigit hingga pura - pura jinak telah aku lakoni dalam berbagai bentuk hewan. Aku bisa menjadi kucing pemalas dan penurut ataupun menjadi ular berbisa yang berdesis dan menerkam dengan tenang, cepat dan mematikan jika sudah menemukan mangsanya.

Kini, aku mulai bosan menjadi hewan berjiwa manusia karena terkadang aku harus memakan bangkai dan membinasakan teman sendiri hanya karena masalah daging ataupun kekuasaan tempat. Aku bosan karena aku selalu menang karena jiwa manusia ini membantuku. Aku menjadi raja hewan. Tiada tandingan dan mereka telah tunduk. Kebosanan itu yang membuat aku ingin menjadi manusia.

Aku ingin menjadi manusia karena mereka bisa berbicara ragam bahasa bahkan mereka bisa bahasa hewan. Mereka adalah makhluk sempurna dengan tubuh yang sempurna dibanding kami : hewan. Mereka punya akal sedangkan kami hanya mempunyai insting. Otak mereka digunakan untuk berpikir sedangkan kami, hanya sebagai penghias organ tubuh untuk mengikuti naluri hewan kami. Mereka terlihat ramah dan sangat menyenangkan, saling menjaga dan saling menghormati. Aku berjiwa manusia tapi terperangkap dalam tubuh hewan dan aku tidak bisa berbicara manusia karena tubuh hewan ini.

Aku ingin menjadi manusia. Andai manusia itu mendengarkanku. Aku menggonggong mereka kabur, Aku mengeong mereka beri aku susu, Aku berdesis mereka tidak peka dan ketika aku mengaum mereka bersorak. Mereka tidak mengerti yang aku sampaikan. Aku ingin menjadi manusia. Tubuh dan jiwa manusia agar aku bisa menjadi seperti mereka yang saling menghormati, menjaga dan menyayangi sesama manusia. Tidak seperti kami yang terkadang karena masalah daging sedikit bisa saling bunuh hingga meninggalkan kawanan. Aku ingin menjadi manusia : makhluk sempurna. Hewan berjiwa manusia saja iri apalagi makhluk lain.

Sabtu, 16 April 2016

Berpikir sejenak (7)

Mempunyai pendidikan tinggi tentunya menjadi sebuah impian bagi banyak orang. Ada yang sudah mencapainya dan ada pula yang sedang memperjuangkannya. Dengan mempunyai pendidikan yang tinggi juga diharapkan bisa mendapatkan penghasilan sesuai harapan karena untuk sekolah di universitas saja sudah butuh banyak biaya.

Seharusnya kita bisa bersyukur dengan mencapai pendidikan yang tinggi karena kita hanya sebagian kecil dari sekian ratus juta orang Indonesia yang masih sulit mendapatkan akses belajar dan mencapai pendidikan yang tinggi. Sayangnya sebagai manusia kita masih kurang bersyukur. Lihat saja pelajar - pelajar sekarang bagaimana perilaku mereka. Mungkin saja nilai akademis mereka baik tapi untuk attitude dan manner masih harus dipertanyakan. Banyak yang kita bisa jadikan contoh. Pejabat - pejabat yang ada di negeri ini, mereka adalah orang - orang terpelajar dan terpilih mempunyai wawasan tinggi tapi kenapa mereka melakukan korupsi? Betapa kejamnnya sebuah uang. Ia hanya benda mati tapi dapat membius dan mempengaruhi orang - orang terpelajar.

Pejabat seharusnya memperhatikan rakyat bukan diri sendiri. Ilmu yang mereka dapat digunakan untuk membodohi rakyat dengan bahasa yang tidak mudah dimengerti. Lalu bagaimana dengan attitude dan manner? Itu semua pun mulai memudar. Lihat saja perilaku para petinggi di Indonesia. Mereka malah bermewah - mewahan apalagi dengan rencana pembangunan gedung perpustakaan di DPR. Padahal di ujung negeri ini masih banyak yang buta huruf dan tidak bisa mendapatkan akses buku yang bagus.

Lantas bagaimana dengan sila kelima dari pancasila? Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia Masih jauh dari itu. Kini, sebagai pemuda kita tidak bisa terus menerus mengeluhi sebuah keadaan tapi memikirkan sebuah ide untuk diterapkan agar Indonesia bisa menjadi lebih baik. Karena generasi muda adalah penerus bagi kemajuan di negeri ini. Kualitas generasi muda Indonesia sekarang bisa menjadi proyeksi bagaimana Indonesia ke depan. Sudahkah kita berpikir kesana? Di tahun dimana kita menjadi pemimpin negeri dan pengambil keputusan. Akankah kita mencontoh para penguasa saat ini?